Hampir 100 juta tahun lalu, ketika susunan benua masih berantakan, pepohonan nyiur tumbuh subur di tanah yang bakal menjadi Alaska, dan Laut Arktik masih sehangat kolam-kolam hotel, sesuatu terjadi. Kematian massal yang mengejutkan.
Oksigen di samudra menipis, ikan dan tumbuhan laut menjadi sesak napas. Kematian segera merebak karena kondisi itu diperparah dengan pola arus laut yang ikut berubah. Bangkai yang menumpuk di dasar laut akhirnya menyumbang cadangan minyak bumi yang dinikmati saat ini.
Para ilmuwan selama bertahun-tahun bingung bagaimana kejadian anoksik bisa mewarnai bumi pada periode Cretaceous akhir itu. Jawaban terbaru ditawarkan tim peneliti dari University of Alberta, Kanada. Mereka bilang, saat itu api letusan gunung api di bawah laut telah mengubah kimia laut dan, mungkin, atmosfer.
Steven Turgeon dan Robert Creaser, keduanya pakar ilmu bumi dan atmosfer, mengatakan petunjuk itu ditemukan dalam kadar isotop unsur osmium yang mereka analisis dari batuan yang diambil dari perairan pantai Amerika Selatan dan pegunungan di Italia. "Erupsi itu begitu hebatnya--muncratan lavanya membentuk dasar Kepulauan Karibia--sehingga memicu kepunahan massal selama 23 ribu tahun," begitu kata mereka seperti dikutip jurnal Nature terbitan kemarin.
Secara teori, ada beberapa skenario yang bisa terjadi dari letusan gunung api itu terhadap perubahan kimia laut. Satu di antaranya seperti yang diungkap Tim Bralower, geolog di Pennsylvania State University, Amerika Serikat. "Gunung api memuntahkan magma yang kandungan logamnya menyemai kehidupan di lapisan laut yang lebih atas dengan mikronutrisi," katanya.
Fitoplankton, jenis-jenis tumbuhan mikro laut, menyantap nutrisi itu dan menimbun karbon seiring dengan pertumbuhan mereka. Ketika mati, mereka terkubur-tertimbun--di dasar laut lalu meluruh dengan mengikat oksigen laut.
Menurut Bralower, skenario pascaletusan gunung api di dasar laut itu penting dalam memahami problem pemanasan global masa kini. Yang belum diketahui saat ini adalah dampak kenaikan suhu terhadap sirkulasi arus laut. "Termasuk apakah skema kontroversial memenuhi laut dengan zat besi, memicu pertumbuhan fitoplankton dan karenanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer, akan meredam pemanasan atau malah menyebabkan kelaparan oksigen di laut dalam," katanya.
Oksigen di samudra menipis, ikan dan tumbuhan laut menjadi sesak napas. Kematian segera merebak karena kondisi itu diperparah dengan pola arus laut yang ikut berubah. Bangkai yang menumpuk di dasar laut akhirnya menyumbang cadangan minyak bumi yang dinikmati saat ini.
Para ilmuwan selama bertahun-tahun bingung bagaimana kejadian anoksik bisa mewarnai bumi pada periode Cretaceous akhir itu. Jawaban terbaru ditawarkan tim peneliti dari University of Alberta, Kanada. Mereka bilang, saat itu api letusan gunung api di bawah laut telah mengubah kimia laut dan, mungkin, atmosfer.
Steven Turgeon dan Robert Creaser, keduanya pakar ilmu bumi dan atmosfer, mengatakan petunjuk itu ditemukan dalam kadar isotop unsur osmium yang mereka analisis dari batuan yang diambil dari perairan pantai Amerika Selatan dan pegunungan di Italia. "Erupsi itu begitu hebatnya--muncratan lavanya membentuk dasar Kepulauan Karibia--sehingga memicu kepunahan massal selama 23 ribu tahun," begitu kata mereka seperti dikutip jurnal Nature terbitan kemarin.
Secara teori, ada beberapa skenario yang bisa terjadi dari letusan gunung api itu terhadap perubahan kimia laut. Satu di antaranya seperti yang diungkap Tim Bralower, geolog di Pennsylvania State University, Amerika Serikat. "Gunung api memuntahkan magma yang kandungan logamnya menyemai kehidupan di lapisan laut yang lebih atas dengan mikronutrisi," katanya.
Fitoplankton, jenis-jenis tumbuhan mikro laut, menyantap nutrisi itu dan menimbun karbon seiring dengan pertumbuhan mereka. Ketika mati, mereka terkubur-tertimbun--di dasar laut lalu meluruh dengan mengikat oksigen laut.
Menurut Bralower, skenario pascaletusan gunung api di dasar laut itu penting dalam memahami problem pemanasan global masa kini. Yang belum diketahui saat ini adalah dampak kenaikan suhu terhadap sirkulasi arus laut. "Termasuk apakah skema kontroversial memenuhi laut dengan zat besi, memicu pertumbuhan fitoplankton dan karenanya menyerap karbon dioksida dari atmosfer, akan meredam pemanasan atau malah menyebabkan kelaparan oksigen di laut dalam," katanya.