Gunung Nglanggeran, nama Nglanggeran berasal dari kata pelanggaran, hal ini terjadi karena barang siapa yang melakukan kejahatan / pelanggaran hukum (nerak angger-angger) akan tertangkap dan terhukum dengan sendirinya.
Gunung Nglanggeran awalnya merupakan puncak dari Gunung Merapi. Konon, pada suatu malam Raden Hanoman yang berwujud seekor kera putih bermain dan ingin mengambil bintang di langit. Untuk menggapainya ia menginjak puncak Gunung Merapi sebagai pijakannya. Karena tidak sampai juga, kemudian puncak gunung tersebut ditendang (dipancal). Bongkahan batu puncak gunung tersebut kemudian ditangkap oleh Punokawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong). Dalam usahanya menangkap bongkahan batu, karena beratnya batu tersebut kakinya menjejak ke tanah hingga mengakibatkan tanah di bawah kakinya mengeluarkan air dan akhirnya tidak berhenti mengalir sehingga menjadi mata air. Mata air tersebut terbentuk sebesar ’dandang’ (alat menanak nasi) yang berada di daerah Kemadang yang kemudian dikenal dengan nama ”sedandang”. Bongkahan batu puncak Gunung Merapi tersebut rencananya akan dibawa ke daerah selatan menggunakan kayu jarak, akan tetapi di tengah jalan kayu tersebut patah dan bongkahan batu tersebut jatuh di daerah Nglanggran, sehingga disebut sebagai Gunung Nglanggeran.
Gunung Nglanggeran juga disebut sebagai Gunung Wayang karena bentuk fisik dari gunung tersebut menyerupai alat-alat dalam pewayangan misalnya kelir, blencong, dan brucu. Batu-batu di Gunung Nglanggran yang menyerupai bentuk alat-alat tersebut dinamai sesuai bentuknya, sehingga Gunung Nglanggeran terdiri dari Gunung Blencong, Gunung Kelir, Gunung Brucu, dll. Gunung Nglanggeran mempunyai cerita tersendiri tentang tokoh pewayangan, yaitu Raden Ongkowijoyo. Sehingga gunung ini juga disebut sebagai Gunung Ongkowijoyo. Dalam tradisi pementasan wayang kulit di daerah Ngalanggeran tidak diperbolehkan mengangkat cerita tentang Raden Ongkowijoyo. Apalagi cerita tentang Raden Ongkowijoyo kalah/tewas dalam peperangan/ pertempuran. Bila ada yang melanggar akan terjadi musibah. Bahkan menurut pengalaman yang pernah terjadi pada saat pertunjukan wayang itu digelar terjadi ’rajapati’ (pembunuhan).
Gunung Nglanggeran juga dikenal sebagai Gunung Wahyu karena banyak orang yang setelah melakukan ritual dan meditasi di tempat ini keinginannya terkabul. Bahkan konon Sri Sultan HB IX pernah mengadakan ”wilujengan” di gunung ini ketika terjadi kekacauan politik akibat G30/S pada tahun 65-an. Sehingga suasana kekacauan politik di Yogyakarta tidak ikut berlarut-larut.
Menurut cerita Gunung Nglanggeran memiliki mata air (tuk) di puncaknya yang disebut sebagai ” Tlogo Wungu” tetapi telaga ini tidak terlihat secara kasat mata (hanya orang tertentu yang bisa melihat), yang terlihat hanya mata air bawahannya / limbahnya (sendang) yang dikenal dengan nama ”comberan”. Di puncak gunung tersebut juga terdapat ”Tlogo Pengguyangan’. Tlogo Wungu ini konon dipercaya digunakan oleh para bidadari yang turun dari kayangan (langit) untuk membersihkan diri (mandi). Konon di telaga ini gayungnya terbuat dari emas (canting kencono) dan tempat menampung airnya juga terbuat dari emas (bokor kencono) serta jalan menuju pemandiannya berupa undak-undakan bertahtakan emas. Sedangkan Tlogo Pengguyangan merupakan tempat untuk memandikan ”Jaran Sembrani” (kuda putih bersayap yang merupakan tunggangannya para bidadari). Hal ini dipercaya karena terbukti dengan adanya bekas tapak kaki kuda berbentuk tapal kuda di bebatuan di dekat Tlogo Wungu. Jika daerah ini dilanda musim kemarau berkepanjangan, maka sesepuh desa melakukan ritual tertentu untuk memohon turunnya hujan kepada ”Yang Maha Kuasa” di Tlogo Wungu kemudian menguras ”comberan” dari mata air tersebut, tidak lama kemudian hujan akan segera turun. Telaga yang lain yang juga berada di puncak gunung adalah ”Tlogo Mardidho” air dari telaga ini digunakan penduduk setempat untuk mengairi sawah yang juga berada di puncak gunung. Air dari telaga-telaga di puncak gunung ini dipercaya berkhasiat bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.